Tradisi Arus Mudik dan Balik Lebaran Melalui Kapal Laut, Penumpang Selalu Berjubel

Ilustrasi : Kang Maman.

Oleh: Maman Wiharja (Wartawan Senior – beritasampit.com)

Sejak 20 tahun lalu, yang pernah dialami penulis sampai sekarang jelang arus mudik dan balik lebaran 1445 H-2024, melalui jasa angkutan kapal laut selalau padat, karena sudah menjadi tradisi bagi puluhan ribu warga mayarakat  dari pulau Jawa yang sudah menetap dan merantau di Kalimantan.

Padatnya arus mudik dan balik lebaran di Jawa juga sama, seperti halnya melalui jasa angkutan Kereta Api Indonesia (KAI) , kalau melihat di semua stasiun para penumpang berjubel.

Bedanya angkutan penumpang arus mudik dan balik lebaran melalui KAI biarpun di stasiun bejubel dengan calon penumpang,  tapi saat para penumpang masuk ke KA, dengan tertibnya para penumpang duduk dengan nyaman sesuai dengan nomor tiketnya.

Namun, Kalau melalui kapal laut, seperti dialami penulis banyak luka-liku. Missal saat tiba di terminal penampungan Pelabuhan Tanjung Mas Semarang, kita harus antri berdesakan masuk terminal.

Setelah sekitar 2 jam menunggu, kemudian dari corong pengeras suara terdengar pengumuman para penumpang dipersilahkan naik kapal. Nah, disinilah kita harus kuat memiliki tenaga, untuk berdesakan masuk kedalam kapal memburu tempat tidur yang masih kosong.

Uniknya, situasi tersebut ada kebanggaan tersendiri bagi para penumpang, yakni disaat mendapatkan tempat tidur bukan main bangganya. Namun ada pula, disaat mencari tempat tidur sejumlah penumpang yang bertengkar rebutan tempat tidur dan setelah dilerai petugas baru selesai aman.

Untuk mendapatkan tempat tidur, kalau usia penumpang sudah tua, terpaksa harus melalui ‘kurir’ di pelabuhan untuk dicarikan tempat tidur dalam kapal, dengan biaya kalau sekarang Rp50 ribu.

Prihatinnya arus penumpang kapal tidak sesuai dengan jumlah tempat duduk alias penjualan tiket. Biarpun melali online, tetap saja tidak dibatasi. Hal ini fakta, karena setiap tahun  jelang arus mudik dan balik lebaran, adalah masa ‘panen’,nya bagi perusahaan kapal dan seluruh ABK nya.

Seperti disaat arus penumpang membludak didalam kapal, hampir semua ABK yang memiliki kamar disewakan kepada para penumpang. Kemudian diatas dek kapal juga ada tambahan pasanga tenda dan pedagang, seperti penjual Baso.

Jadi padatnya penumpang, benar-benar dimanfaatkan untuk mencari uang oleh sejumlah karyawan kapal diluar ABK, dan hal ini terjadi setiap tahun jelang dan sesudah lebaran.

Itulah kisah pendek, disaat arus mudik dan balik lebaran. Para penumpang berjubel sering disebut sudah tradisi. Namun pengamatan penulis tradisi tersebut kurang terpuji, sepertinya tradisi tersebut tradisi mampang-mumpung  untuk mencari keuntungan dari keringat dan lelahnya para panumpang.

Lihat arus mudik dan balik lebaran melalui KAI, walaupun di terminal/stasiun penumpang berjubel tapi saat masuk KA, tampak tertib para penumpang semuanya mendapatkan tempat duduk sesuai dengan tiketnya. (Maklum karena perusahaan milik pemerintah).

Sedangkan melalui angkutan kapal laut, para penumpang banyak dilibatkan dengan keprihatinan, karena Perusahaan Kapal Laut antar pulau milik swasta dan tentunya perusahaan mencari keutungan sebanyak-banyaknya.

Pengamatan penulis kedepannya apakah bisa kalimat ‘Tradisi Padat Penumpang’ dihilangkan, menjadi ‘Tradisi Nyaman” bagi para pemudik dan balik lebaran?. Jawabannya Bisa..!, apabila penyedia transportasi kapal laut menambah armadanya kapalnya. SEMOGA.***