Karya: Aspur Azhar
Namanya Abdul Muis, tetapi orang-orang memanggilnya Muis Caplang, karena bentuk daun telinganya menyerupai dua lembar jamur kuping yang tumbuh di kedua sisi kepalanya. Kulitnya hitam mengkilat, rambut lurus setengah gondrong, hidung seperti belahan jambu air setengah matang. Usianya di atas dua puluh tahun. Alamat tak jelas, asal-usul keturunan juga tak jelas. Hanya tempat mangkalnya jelas: terminal Pasar Senen. Pekerjaan tetapnya copet, sedangkan pekerjaan sampingan kadang-kadang kenek metromini, kadang-kadang calo tiket, jualan majalah dan buku-buku murahan atau apa saja yang dipandangnya perlu.
Sebagai copet, tentu saja Muis Caplang cukup profesional. Ia cukup disegani oleh kawan-kawan sesama copet, juga disegani oleh guru-guru copetnya yang tersebar seantero pasar dan terminal di Jakarta. Ia mulai menekuni dunia copet sejak usia delapan tahun. Belum pernah tertangkap sepanjang kariernya. Ia dikenal sebagai pencopet solo terbaik. Teliti dalam memilih mangsa, tahu kapan mangsa mesti didekati dan tahu kapan mesti disantap.
Untuk mengambil dompet dalam saku celana jeans ia cukup menyenggol korbannya, lalu tersenyum sembari minta maaf, saat itu dompet korbannya sudah ada dalam saku jaketnya. Untuk meraih dompet ibu-ibu yang biasanya dimasukkan dalam tas yang dijepit di bawah ketiak, ia cukup menjatuhkan beberapa lembar uang sedemikian rupa dekat kaki si ibu, sehingga si ibu mengira itu uang berceceran. Bila si ibu memungutnya, maka pada saat bersamaan dompet dalam tas sudah berpindah ke dalam saku jaketnya. Sedangkan untuk mengambil uang dalam saku baju, ia cukup menyentuh orang itu dari belakang di tengah kerumunan orang. Bila calon korbannya menoleh, saat itu uang di saku depan mangsanya sudah berpindah ke dalam genggamannya.
Tampaknya mudah, padahal semua itu ia lakukan dengan perhitungan sangat rumit serta naluri yang terlatih. Ia baru mau beroperasi bila perhitungannya tepat dan nalurinya pas. Bila perhitungannya saja yang pas, sementara nalurinya mengatakan jangan, maka ia akan mengurungkan niatnya.
Muis Caplang memang agak beda dengan copet-copet lainnya yang hanya bermodal nekat dan sedikit keterampilan. Ia juga beda dengan copet-copet yang terkesan kumal, suka poya-poya dan rakus. Ia sedikit lebih rapi dan tak suka poya-poya. Apabila dalam sekali operasi hasilnya cukup untuk bertahan selama satu minggu, maka selama itu ia tidak beroperasi. Ia akan melakukan pekerjaan tambahan, entah jadi kuli panggul atau jadi tukang parkir. Hasil pekerjaan tambahan ini ia simpan baik-baik dalam tanah di bawah tempat tidurnya di satu kontrakan kecil di sekitar Pasar Poncol.
Mengetahui sifat-sifat itu orang boleh saja beranggapan bahwa ia sedang merencanakan pertobatan, mungkin ia sedang merencanakan kehidupan normal sebagaimana lazimnya orang kebanyakan. Bekerja tetap dan berkeluarga baik-baik. Tetapi anggapan itu keliru besar, karena Muis Caplang tak pernah berpikir ke sana. Malah berniat mencari guru copet yang lebih andal lagi. Lantas, untuk apa ia melakukan kerja sampingan, bukankah kalau mencopet terus pendapatannya lebih banyak sehingga ia tak perlu membuang-buang waktu dan tenaga lebih banyak?
Orang lupa bahwa pekerjaan sampingan itu dibutuhkan justeru untuk meningkatkan wawasan dan keterampilan. Muis Caplang kerja sambilan menjadi kenek metromini justeru untuk memantapkan keterampilan mencamil uang dari tangan para penumpang, di samping untuk mempertajam daya duga, berapa sesungguhnya jumlah uang yang ada dalam dompet seseorang manakala orang tersebut membuka dompetnya untuk membayar ongkos naik metromini. Demikian pula bila ia menjadi calo, kala itu sebenarnya ia sedang meningkatkan kemampuan mempengaruhi orang. Dari situ ia tahu, kapan saatnya orang terpengaruh dan kapan saatnya tidak. Sedangkan bila ia tampak berjualan majalah atau buku-buku murahan, sebenarnya ia hanya pura-pura berjualan, padahal sedang membaca buku-buku tersebut, terutama buku mujarobat, buku sulap, telepati, pancasona atau teknik berpidato dan teknik mempengaruhi orang. Dari sini kita tahu bahwa melalui pekerjaan sampingan itu sebenarnya Muis Caplang sedang meningkatkan diri menjadi penipu ulung.
Suatu sore, menjelang senja, Muis Caplang sedang mengincar seorang pemuda yang berdiri di sisi Terminal Senen dengan sebuah tas besar yang tergeletak di samping kaki kanannya. Tampaknya pemuda itu baru datang dari luar kota. Mungkin baru turun dari kereta api, begitu dugaan Muis Caplang. Kalau pemuda itu dari luar kota, apalagi kalau dari seberang pasti banyak bawa uang. Mungkin pemuda itu baru sekali ini ke Jakarta, atau mungkin sudah pernah tapi lupa nomor bus yang mesti ditumpangi.
Muis Caplang terus mengamati sambil terus pula mencari siasat. Lalu tiba-tiba ia meraih tas punggung dari dalam warung makan tempat ia mengintai.
“Pinjam sebentar!” katanya kepada pemilik warung sembari melompat keluar.
Muis Caplang setengah berlari menuju mulut terminal, dan dari situ ia naik bus yang baru tiba. Turun tepat di hadapan pemuda calon korbannya, seolah ia baru tiba dari tempat jauh. Ia pura-pura bingung juga. Menggerutu dan mengumpati diri sendiri, memancing perhatian calon korbannya.
Hampir saja Muis bertanya, “Kalau mau ke Salemba naik apa ya?” tapi dibatalkannya, karena kalau ternyata pemuda itu mau ke Tanjung Priok, kacaulah rencananya. Muis berharap pemuda itulah yang bertanya kepadanya. Tapi pemuda itu diam saja. Apa boleh buat, terpaksa Muis menarik bungkusan rokok dari dalam saku jaketnya, lalu menawarkannya kepada pemuda itu, “Rokok?” katanya.
“Terima kasih. Kelihatannya baru datang juga. Mau ke mana?”
Muis hampir saja terbahak-bahak mendengarnya. “Mas sendiri mau ke mana?” tanyanya balik.
“Saya mau ke?”
“Ke Tanjung Priok?”
“O, bukan. Saya mau ke ke Jambar?”
“Jambar? Jelambar barangkali?”
“Naa, ya, Jelambar. Betul, Jelambar!”
“Wah, kebetulan kalau begitu. Saya juga lewat Jelambar. Saya mau ke Cengkareng. Ke rumah saudara.”
“Tapi saya lupa naik busnya. Biasanya saya lewat terminal Cililitan!”
“Nanti sama-sama saja. Saya masih ingat nomornya kalau dari sini.”
“Kebetulan sekali,” kata si pemuda tanpa curiga.
Muis Caplang agak berdebar. Tak biasanya ia begitu. Mungkin kali ini ia agak berlebihan mempercayai nalurinya. Nalurinya mengungkapkan bahwa pemuda tersebut bawa uang banyak. Kemungkinan uang tersebut diletakkan dalam tas yang dibawanya. Kemungkinan tersimpan dalam amplop putih, terselip di antara lipatan pakaian. Sambil berpikir demikian, Muis terus saja mengajak calon korbannya berbincang-bincang dalam rangka memberi kepercayaan kepada lawan bicaranya.
Kemudian Muis mengajak si pemuda menunggu bus jurusan Senen-Kalideres di luar terminal. Pemuda itu setuju, Muis semakin percaya diri. Dan dari perbincangan itu Muis sudah mampu menarik beberapa kesimpulan, di antaranya ialah bahwa pemuda itu baru tiba dari pulau Kalimantan, membawa uang cukup banyak, menuju rumah familinya di Jelambar Jakarta Barat. Pastilah uangnya banyak sekali, pikir Muis. Bila saja amplop dalam tas itu bisa digamit mungkin jumlahnya cukup untuk menganggur selama dua bulan atau lebih.
Tak berapa bus yang ditunggu pun tiba. Mereka naik dan duduk berdampingan di bagian belakang sesuai arahan Muis. Sepanjang perjalanan Muis terus membual, sesuai buku petunjuk Cara Mempengaruhi Orang yang pernah dibacanya beberapa waktu lalu. Sambil membual ia tetap berpikir tentang amplop dalam tas itu.
“Sudah berkeluarga?” tanya Muis sambil melirik tas.
“Belum. Abang sudah berkeluarga?”
“Belum juga. Enak jadi bujangan, kemana-mana tiada yang larang,” ujar Muis menjiplak Koes Plus.
“Benar juga!”
Bersamaan dengan itu Muis telah mengetahui cara membuka tas sekaligus cara menarik amplopnya tanpa merusak tas tersebut. Ia tinggal menunggu saat yang tepat. Sementara itu kondektur bus datang seraya menggoncang-goncang uang recehan di depan hidung Muis. Seketika Muis pura-pura mencari-cari uang dalam saku celananya.
“Tak usah, ini saja cukup!” kata pemuda sambil menyodorkan selembar uang kertas ke hadapan si kondektur bus. Dan saat pemuda itu membuka dompet untuk mengambil uang tadi Muis mendelik isi dompet tersebut. Isinya cukup banyak. Rasanya belum pernah ia mencopet dompet sepadat itu, maka mendadak ia merubah rencananya. Dompet itu saja sudah cukup, pikirnya.
Lima menit sebelum tiba di Jelambar Muis telah berhasil memindahkan isi dompet itu ke saku celananya, sedangkan dompetnya ia kembalikan ke tempat semula, tanpa pemuda itu menyadarinya.
“Grogol! Grogol! Grogol! Yang Grogol siap-siap?” Pekik kondektur bus dambil memukulkan kepingan uang receh ke dinding bus.
“Kiri!” pinta Muis. “Sudah sampai!” katanya membangunkan si pemuda di sebelahnya yang dikiranya tertidur. Si pemuda bergegas bangun dan berdiri menenteng tasnya.
“Turun di sini, nanti menyeberang, sudah sampai di Jelambar. Saya masih jauh. Hati-hati ya!”
“Terima kasih, Bang!” sahut si pemuda sambil tergesa-gesa turun.
Tak seberapa bus tancap gas lagi. Muis meraba hasil sodokannya. Terasa tebal. “Luar biasa. Ini kejutan!” Muis agak sumringah dibuatnya. Sampai sekitar Cengkareng baru ia sadar, lalu melompat turun dan naik lagi ke jurusan Senen.
Lampu-lampu jalan sudah menyala membias ke wajah Muis melalui kaca jendela bus. Tampak ia memejamkan mata, seolah sedang meresapi hasil kerjanya hari ini. Kepalanya terantuk-antuk mengikuti gerakan bus yang tersendat-sendat oleh kemacetan. Muis terus memejamkan mata membuai diri.
Tiba di terminal Senen Muis bermaksud memindahkan uangnya ke dalam dompet yang selalu diletakkannya di dalam kantong jaket bagian dalam. Tetapi dompet itu tidak ia temukan. Muis melepas jaketnya lalu mengibar-ngibarkannya, berharap dompet itu terjatuh. Tetapi tidak ada juga. Muis agak panik. Meskipun dompet itu sering kosong, tetapi terbuat dari kulit buaya asli, dan yang paling penting ialah bahwa di dalam dompet itu terdapat cincin emas seberat empat gram hasil camilannya beberapa waktu lalu di Pasar Nangka.
“Brengsek!” gerutu Muis. Ia curiga bahwa pemuda itu telah menggerayangi dompetnya tanpa ia ketahui. Muis segera mengambil segepok uang hasil sodokannya tadi.
“Sinting!” makinya. “Ternyata itu uang mainan.
Bajingan! Dasar gila!” Muis terus memaki-maki.
Tak masuk akal. Tetapi itulah yang terjadi. Tak ada yang tahu bagaimana pemuda itu bisa mengecoh Muis. Hanya sesudah kejadian itu orang-orang di terminal Senen sudah jarang melihat Muis Caplang berkeliaran. Barangkali ia pergi memperdalam kemampuannya. Di atas langit masih ada langit, di atas copet juga masih ada copet. Entahlah!***
Jakarta,1996