UPR Perguruan Tinggi yang Responsif Gender

IST/BERITA SAMPIT. Dr. Ir. Evi Feronika Elbaar, M.Si yang merupakan Wakil Direktur I Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni Program Pascasarjana UPR/Pemerhati Gender. 

PALANGKA RAYA – Universitas Palangka Raya merupakan salah satu Perguruan Tinggi yang dinilai responsif gender, dilihat dari berbagai kebijakan dan posisi strategis yang tidak melihat jenis kelamin serta mengakomodir kepentingan kedua belah pihak baik laki-laki maupun perempuan. Laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkompetisi untuk menduduki jabatan-jabatan strategis yang ada di UPR dengan tetap mengedepankan kualitas dan kapabilitas.

Responsif Gender ini tidak hanya berlaku ditataran para pimpinan, dosen dan pegawai saja, namun juga dalam tataran mahasiswa terbukti dengan tidak adanya tindakan maupun kebijakan kampus yang memojokkan salah satu pihak maupun golongan.

Hal ini disampaikan oleh Dr Ir Evi Feronika Elbaar, M.Si yang merupakan Wakil Direktur I Bidang Akademik, Kemahasiswaan dan Alumni Program Pascasarjana UPR yang juga merupakan mantan Ketua Pusat Penelitian Gender dan Perlindungan Anak Universitas Palangka Raya saat diwawancarai, Selasa 21Juli 2020.

“Jika ada oknum dosen yang mencoreng nama baik kampus dengan tindakan tidak bermoral, seperti beberapa waktu lalu oknum dosen inisial PS terbukti dan divonis pengadilan melakukan tindakan asusila pelecehan seksual terhadap anak-anak mahasiswa perempuan kita, itu bukan lah bentuk keabaian UPR terhadap isu perempuan namun itu adalah tindakan oknum nya” ujar Evi Elbaar.

Ia menilai bahwa publik tidak boleh menggeneralisasi bahwa itu adalah kesalahan dan bentuk keabaian UPR terhadap isu perempuan, karena hal tersebut dilakukan oleh individu yang kebetulan adalah oknum dosen. Ia bahkan merasa perlu memberi apresiasi atas kebijakan tegas yang dikeluarkan pimpinan UPR melalui Rektor Dr. Andrie Elia SE, M,Si untuk menindak tegas oknum dosen cabul tersebut.

“Kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen FKIP berinisial PS telah ditangani sesuai mekanisme yang berlaku, Pimpinan UPR dalam hal ini Rektor bertindak cepat dengan menonaktifkan yang bersangkutan, dan menyerahkan proses hukum kepada yg berwajib, PS telah menjalani penahanan, persidangan dan vonis pengadilan, sementara mahasiswa yang menjadi korban telah ditangani oleh tim pendampingan khusus yang ditunjuk oleh Rektor, kemudian diserahkan penanganannya secara psikologis dan klinis kepada Pemprov Kalteng” ungkapnya.

Selain itu pihaknya juga sudah melakukan koordinasi dalam hal ini dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang merupakan unit Pelaksana Teknis yang berada dalam lingkup teritori Pemprov Kalteng.

Ia juga menyampaikan bahwa sampai saat ini belum ada payung hukum secara Nasional untuk penanggulangan kekerasan seksual, yang sebelumnya di susun dalam Rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang mulai dibahas di DPR sejak tahun 2016 lalu, Yeng bertujuan untuk memberi payung hukum secara nasional untuk penanggulangan kekerasan secara seksual.

Namun sampai sekarang RUU ini belum disahkan, bahkan di drop/dihapus dari daftar RUU yg diajukan untuk dibahas di DPR pada bulan Juli 2020. Jika RUU PKS disahkan, maka bisa dibuat aturan turunan/produk-produk hukum turunan pada tataran di bawahnya.

Berdasarkan hal itu, ditataran kementrian (Kemendikbud) pun belum dapat membuat kebijakan tentang PKS di lingkungan pendidikan termasuk kampus, sehingga setiap kasus Pelecehan Seksual setelah dilakukan penanganan seperlunya,  secara hukum selalu diserahkan kepada pihak berwajib.

“Ke depan yang dapat dilakukan oleh UPR terkait Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus adalah membentuk TIM Layanan Khusus PKS yang terdiri dari para pakar hukum, psikologi dan pendidikan, kemudian Menyusun SOP penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus yang dapat dijadikan pegangan bagi mahasiswa/mahasiswi yang memerlukan penanganan dan pendampingan,” tutup Evi Elbaar pemerhati Gender ini.

(NA/Beritasampit.co.id)