Aksi Bela Peladang, Suara Perempuan Menggema Kencang

Editor : Maulana Kawit

PALANGKA RAYA – Semangat perjuangan dan perlawanan terhadap kriminalisasi peladang Dayak tidak hanya dirasakan dan dilakukan oleh kaum laki-laki saja tetapi juga oleh kaum perempuan sebagai ibu dari kehidupan, bertepatan dengan Hari Hari Hak Asasi Manusia (HAM) juga Peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati serentak di seluruh dunia, suara lantang kaum perempuan Kalteng kembali terdengar, Selasa 10/12/ 2019.

Yunita salah satu peserta aksi dari organisasi Solidaritas Perempuan (SP) Kalimantan Tengah menyampaikan dalam orasinya bahwa Pelarangan membakar lahan untuk berladang adalah sebuah bentuk penghilangan hak terhadap masyarakat lokal yang tidak berdaulat atas tanah airnya sendiri, ia menyampaikan bahwa jenis-jenis padi lokal Dayak sudah semakin hilang akibat rakyat tidak berani berladang karena larangan membakar.

“Apakah kita tidak terluka melihat saudara kita yang sekarang berada di jeruji besi, dikriminalisasikan karena membakar di tanahnya sendiri, kita tidak berdaya atas sumber-sumber kehidupan kita sendiri,” teriaknya lantang.

Yunita juga mengajak seluruh masyarakat Kalimantan Tengah bersolidaritas dan menyatukan kekuatan melawan segala bentuk penindasan yang terjadi kepada masyarakat khususnya para peladang, pihaknya juga menuntut agar para peladang yang ditangkap segera dibebaskan.

Sementara itu Kartika Sari Ketua Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) Kalteng menegaskan dalam orasinya bahwa sejak zaman nenek moyang dulu suku Dayak sudah membakar lahan untuk berladang dan tidak pernah ada kabut asap berkepanjangan yang diakibatkan oleh Orang Dayak karena membakar lahan, apalagi orang Dayak tidak pernah membakar dilahan gambut.

“Masyarakat adat berladang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, apakah ketika pemerintah melarang masyarakat membakar pemerintah menyediakan solusi nya?” tanya Kartika dalam orasinya yang spontan dijawab tidak oleh peserta aksi lainnya.

Tika sapaan akrabnya menambahkan bahwa ketika pemerintah melarang masyarakat adat membakar untuk berladang maka masyarakat harus mengeluarkan uang untuk membeli beras sebagai kebutuhan hidupnya, yang otomatis akan semakin membebani masyarakat adat secara ekonomi.

Menurut Tika kabut asap yang terjadi di Kalimantan Tengah setiap tahunnya tidak ada hubungannya dengan masyarakat adat yang membakar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. namun ia menuding diakibatkan oleh pembukaan lahan besar besaran yang dilakukan oleh korporasi, namun yang menjadi korban dan selalu disalahkan adalah masyarakat adat.

“Masyarakat adat selalu melindungi hutannya, masyarakat adat selalu melindungi hutan dan sungainya, hari ini rakyat tidak bisa berladang, rakyat kehilangan tanahnya dan rakyat terpaksa harus terusir dari tanahnya sendiri,” tutup Tika disambut gemuruh tepuk tangan massa aksi.

(NA/ beritasampit.co.id)