Kampanye Politik Caleg di Kotim yang Tampak “Sakit”

Wira Prakasa Nurdia Anggota MD Kahmi Kotim

BERITA Sampit pada Rabu, (3/1/2024), menurunkan satu editorial menarik yang menyoroti tentang perusakan Alat Peraga Kampanye (APK) di beberapa sudut kota Sampit. Tulisan itu ingin mengatakan bahwa APK yang rusak atau dirusak oleh oknum merupakan indikasi kuat dari persaingan politik yang tidak lagi sehat, karenanya yang akan dirugikan adalah masyarakat khususnya masyarakat Kotim. “Semua akan rugi, rakyat akan rugi, pemerintah akan rugi.” tulisnya. Namun, barangkali penggunaan frasa “merugikan masyarakat” dalam konteks ini terasa agak sedikit berlebihan.

Betapa pun Pemilu merupakan salah satu prosedur penting yang menjadi ciri penting satu negara demokrasi, APK bukanlah salah satu indikatornya. Sebaliknya, banyak warga mungkin saja merasa gerah, misalnya baru jalan beberapa meter dari rumah saja sudah diserbu poster capres, caleg, atau parpol. Membuat pandangan terganggu, bahkan bisa berpotensi mencelakai pengendara di jalan raya. Sederhananya, perusakan APK tidak memiliki dimensi real terhadap masyarakat, selain faktor yang sudah saya sebutkan di atas.

Namun, lepas dari hal teknis tersebut, ada satu poin penting yang mesti kita sepakati dalam kaitannya dengan baliho: parade baliho caleg di Sampit mayoritas didominasi pertarungan gimik dan drama yang defisit substansi, sehingga tampak menempatkan masyarakat sebagai penonton laga, bukan subyek dari kampanye politik. Bahkan kompetisi dengan gimik yang over ini tidak saja menempatkan pemilik suara di
Kotim sebagai objek, tapi mendudukannya dalam posisi subordinat yang lemah. Akibatnya, layaknya sebuah tontonan laga, ia hanya berkutat di sekitar perselisihan antara elite aktor itu sendiri. Inilah yang mungkin menjadi penyebab mengapa baliho-baliho tersebut dirusak. Tetapi, fokus tulisan ini tidak menyoroti hal tersebut, perusakan baliho adalah satu soal, namun absennya isu warga masyarakat dalam percakapan para caleg itulah saya pikir yang membuat masyarakat merugi dan menggiring demokrasi kita
ke arah yang kurang sehat.

Atribusi Palsu

Beberapa bulan lalu, saat saya makan di salah satu warung pinggiran di seberang Mall Pelayanan Publik, pandangan saya tertuju pada salah satu baliho besar yang mengangkangi ruas jalan MT. Haryono. Baliho
tersebut menampilkan gambar Lionel Messi yang sedang berselebrasi mengenakan baju bernomor punggung 10, terdapat tulisan besar bertuliskan “foto ada di belakang” yang ternyata seorang caleg. Belakangan, baliho tersebut sudah berganti, namun ternyata muatan konten APK caleg tersebut juga banyak bertebaran di jalan-jalan lain dengan kemasan yang bersalin rupa atau sama saja.

Pun tatkala saya melalui arah perempatan Jl.Cilik Riwut-Tidar, seorang caleg dari partai lain menyematkan nama Cristiano Ronaldo diikuti dengan simbol x (silang) dan nama caleg yang dicentang. Metode atau cara-cara ini merupakan saduran meme yang acap berseliweran di sosial media kita. Mungkin saja meme dalam baliho tersebut bisa diartikan sebagai bentuk afirmasi terhadap “ke-aku-an” caleg tersebut seraya menegasi tokoh yang disilang. Entahlah, namun salah dua model baliho kampanye di atas merupakan contoh paripurna penggunaan gimik berlebihan dari masifnya baliho minim substansi di Kotim.

Penggunaan foto kedua pesohor sepak bola terbaik sepanjang masa ini tentu dimaknai sebagai sesuatu yang politis jika kita bersepakat pada amsal “kodrat politisi adalah berkuasa.” Menyeret keduanya dalam
kampanye politik praktis hanya akan mendegradasi nilai-nilai luhur dan etis yang mereka torehkan, terutama di luar lapangan. Dedikasi, kerja keras, dan ketekunan keduanya menciptakan narasi inspiratif
tentang bagaimana kegigihan dapat membawa kesuksesan. Mereka juga terlibat dalam aksi amal dan inisiatif sosial. Ada banyak cerita inspiratif di berbagai belahan dunia yang di-drive oleh Messi dan Ronaldo. Keduanya membawa dimensi sepak bola tidak sekadar ajang olahraga namun melampaui batas batas itu.

Bandingkan misalnya, dengan DPRD Kotim. Meskipun membandingkan keduanya tampak tak apple to apple, karena atlet mewakili personal, DPRD sebagai sebuah institusi demokrasi. Namun, bukankah salah satu fungsi yang melekat pada DPRD adalah mewakili aspirasi masyarakat di tingkat lokal? Apa pun pengertian yang terkandung pada terminologi “perwakilan” pada institusi ini, sudah seharusnya lah memiliki azas kebermanfaatan pada kualitas hidup masyarakat, maka kemudian tak boleh ada tawar menawar dan lumrah kiranya kita berharap banyak dari perwakilan kita ini. Keuntungan elektoral yang dimiliki perwakilan kita idealnya tidak hanya membawa pada kondisi kenyamanan individu yang bersangkutan, tetapi pada nasib kolektif sebuah masyarakat. Tetapi, di sini lah kemudian letak narasi “DPRD Kotim adalah perwakilan masyarakat” tidak menemukan relevansinya. Setidaknya pemberitaan Berita Sampit sedikit banyaknya mengonfirmasi tindak tanduk legislatif kita yang tidak menjalankan fungsinya secara optimal. Di penghujung tahun 2023 misalnya, kantor dewan tampak kosong tanpa
aktivitas, banyak anggotanya yang melakukan perjalanan dinas setelah diduga ada perubahan mengenai kenaikan anggaran sebesar Rp3,5 milliar (beritasampit.com). Pada rapat-rapat pun tak kurang menjengkelkan, di akun Instagram Berita Sampit, beberapa rapat penting justru tidak dihadiri oleh perwakilan kita, akibatnya keputusan yang diambil tidak berasaskan quorum.

Berangkat dari fakta tersebut, kalau boleh jujur, fungsi atau komitmen mulia itu belum terwujud dalam kebijakan politik yang dihasilkan. Membawa-bawa Messi dan Ronaldo, atau dalam kasus yang lebih luas lagi, mengarusutamakan gimik pada APK sebagai atribut kampanye justru hanya akan memberikan atribusi palsu pada caleg. Juga pada kasus lain, teror gimik-gimik dalam APK yang bertebaran di tiap sudut ruas jalan di Sampit secara lancang menghina rasionalitas publik kita. Masyarakat Sampit dalam relasi politik elektoral di sini tampak diposisikan kerdil, apolitis, dan kurang rasional. Sehingga atas kesadaran tersebut lah para caleg tak tertarik atau “pengasit” menampilkan program-program mereka pada baliho yang sebetulnya tampak terlalu lowong untuk ditunjukkan kepada masyarakat kita. Padahal jika kita merujuk pada sistem berdemokrasi yang ideal, argumentasi rasional berbasis program haruslah menjadi landasan para calon legislatif kita. Belum lagi fungsi “mengedukasi publik” yang juga wajib dilakukan oleh caleg kita dalam kaitannya untuk pemantapan berdemokrasi, sekadar memenuhi hal-ihwal yang basic dan fundamental saja caleg kita tampak tergopoh-gopoh.

Adalah wajar kemudian kanal berita ini tampak sinis saat mengetahui DPRD kita ramai-ramai melakukan reses menjelang pemilihan, karena ada kekhawatiran bahwa reses hanya dimanfaatkan anggota parlemen untuk kampanye secara terselubung (Berita Sampit). Pada titik ini kita bisa bilang kalau kontestasi politik di Kotim/Sampit bukan saja tidak sehat, tetapi sudah sakit.

Oleh: Wira Prakasa Nurdia
Anggota MD Kahmi Kotim