JAKARTA– Mantan Ketua Panja RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) Willy Aditya mengaku masih terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Hal itu akibat lemahnya literasi, edukasi, dan narasi kesadaran terhadap ancaman bahaya dan pidananya masih kurang disosialisasikan.
Maka, kata Willy, media menjadi salah satu elternatif, termasuk film bisa efektif untuk sosialisasi UU TPKS tersebut.
“UU TPKS dan turunanya seperti UU Perlindungan Anak, UU HAM, dan UU yang satu geng dengan TPKS bisa diterapkan hukum acaranya baik delik maupun acaranya. Jadi, narasi tentang bahaya dan ancaman pidana kekerasan seksual itu yang kurang dimasifkan,” tegas politisi NasDem itu.
Hal itu disampaikan Willy dalam forum legislasi “Kekerasan Seksual pada Anak, Bagaimana Penerapan UU TPKS?” bersama anggota Komisi VIII DPR Selly Andriany Gantina (Fraksi PDI-P) dan Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Nahar di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta, Selasa (26/7/2022).
Wakil Ketua Baleg DPR itu lebih lanjut mengakui jika media sudah luar biasa memberitakan UU TPKS ini, namun narasi tentang bahaya dan ancaman pidananya masih kurang.
“Saya kira film masih menjadi salah satu media yang efektif untuk membangun narasi anti kekerasan seksual terhadap anak itu. Seperti film tukang bubur naik haji, transmigrasi era Soeharto ‘Jendela Rumah Kita’ yang dibintangi Dede Yusuf dan Dessy Ratnasari, dan lain-lain,” ujarnya.
Setelah DPR menyelesaikan tugasnya dengan mengesahkan UU TPKS ini, maka tinggal pengawasannya.
“Sehingga dalam kejahatan seksual yang seumur dengan peradaban bumi ini, perlu kehdiran negara, tokoh agama, dan komunitas untuk membangun narasi kejahatan seksual tersebut,” ungkap Willy.
Selly Andriany Gantina mengatakan dengan UU TPKS ini kini banyak masyarakat yang berani melaporkan kejahatan seksual anak tersebut. Karena itu, kasus-kasus lama yang selama ini belum terungkap menjadi terbuka.
Misalnya kasus pesantren di Jombang, Jawa Timur yang terjadi pada tahun 2019 bisa diungkap kembali pada tahun 2022 ini.
“Jadi, UU TPKS ini harus disosialisasikan sampai ke bawah. Kadang masih banyak yang belum tahu dan sadar dengan UU TPKS ini. Bahkan dari 163 perempuan di parlemen belum tentu semuanya paham dan menyosialisasikannya ke masyarakat. Itu bisa dilihat di Instagram-nya,” tambahnya.
Selain itu kata Selly, akan sangat tergantung anggaran di pemerintah daerah. Dimana anggaran di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI saja hanya Rp246 miliar. Artinya jika daerah tidak memiliki anggaran, otomatis tidak akan bisa menyosialisasikan UU TPKS tersebut.
Sementara menurut Nahar, kasus kekerasan seksual terhadap anak ini terus meningkat sampai hari ini. Namun, peningkatan itu akibat banyak anggota masyarakat yang berani melapor setelah disahkannya UU TPKS tersebut.
“Dari jumlah, kasus kekerasan seksual anak itu meningkat. Hanya saja peningkatan ini akibat banyak yang berani melapor setelah UU TPKS ini disahkan. Bahkan pelapor, saksi, korban dan lainnya dilindungi dan dijamin keselamatanya,” ungkapnya.
(dis/beritasampit.co.id)