Kepala BPN Kotim Bantah Adanya Mafia Tanah

KLASIFIKASI :IST/BERITASAMPIT - Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Kotawaringin Timur, Jhonsen Ginting (kiri) bersama Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur, M. Abadi.

SAMPIT – Menanggapi dugaan adanya mafia tanah di lingkup kerja Badan Pertanahan (BPN), Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), Kepala BPN Kotim, Jhonsen Ginting mengklarifikasi bahwa surat yang dikeluarkan pihaknya telah mengikuti prosedur.

“Semua perusahaan itu wajib memiliki plasma, cuman aturan yang mengikat khusus di BPN mulai berlaku sejak 2017 sesuai Permen aturan BPN Nomor, 7 Tahun 2017, maka perusahaan yang sebelum itu akan di wajibkan pada saat perpanjangan izin Hak Guna Usaha (HGU),” sebut Jhonsen Ginting, 3 Februari 2021.

Selain itu Kata dia, dalam diktum kelima Surat Keputusan (SK) yang dikeluarkan oleh pihak Koperasi Garuda Maju Bersama bahwa sudah ada perjanjian perdamaian antara pihak koperasi dengan PT. Karya Makmur Abadi. Ia menegaskan bahwa tidak ada masalah dan semua sesuai dengan prosedur.

“Plasma bukan hanya tugas BPN, dari sisi BPN itu upaya yang suda ada, Koperasi Garuda Maju Bersama sudah di atur dalam SK HGUnya sehingga sudah menjadi keharusan pelaksanaannya. Sudah ada perjanjian damai antara koperasi dengan perusahaan tentang diktum tersebut,” demikian pria dengan sapaan Jhonsen itu.

Sebelumnya, Ketua Fraksi PKB DPRD Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), M Abadi menanggapi surat yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Pertanahan (BPN), perihal permasalahan yang terjadi antara Desa Pahirangan dan PT Karya Makmur Abadi (KMA) berkaitan dengan lahan plasma.

Disebutkan Abadi karena besar dugaan bahwa surat yang dikeluarkan Kepala BPN Kotim telah terjadi mufakat mafia tanah dengan pihak perkebunan PT KMA yang merugikan masyarakat dengan cara mengeluarkan surat pada tanggal 26 Januari tahun 2021, yang menjelaskan bahwa PT. KMA tidak berkewajiban membangun plasma seluas 20 persen dengan alasan bahwa aturan tersebut baru dikeluarkan pada tahun 2017, sementara SK HGU PT. KMA dikeluarkan tahun 2016.

“BPN Kotim mengeluarkan surat dengan memainkan aturan agar melepaskan PT. KMA dari kewajban membangun lahan plasma karena sangat jelas didalam surat yang dikeluarkan Kepala BPN Republik Indonesia pada tanggal 26 Desember tahun 2012 yang ditujukan kepada seluruh wilayah kantor BPN nasional di Indonesia tentang persyaratan membangun kebun untuk masyarakat di sekitar kebun, dijelaskan pada point 5 huruf A bahwa setiap perusahan perkebunan yang mengajukan HGU wajib membangun plasma 20 persen dan surat ini dikeluarkan tahun 2012 sementara HGU PT.KMa tahun 2016 sehingga kewajiban tersebut telah tertuang di dalam sertifikat,” jelas Abadi, beberapa waktu yang lalu.

PT KMA atas lahan plasma seluas 1080 hektar dan untuk permasalahan lahan tora Abadi menjelaskan bahwa, PT. KMA mengajukan pelepasan pada tahun 2015, sementara di tahun 2015 telah dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer.

Sementara dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Nomor P.51/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2016 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi didalam pasal Pasal 5 ayat (1) Kawasan HPK yang akan dilepaskan untuk kepentingan pembangunan perkebunan, diatur pelepasannya dengan komposisi 80% (delapan puluh per seratus) untuk perusahaan perkebunan, dan 20% (dua puluh per seratus) untuk kebun masyarakat dari total luas kawasan HPK yang dilepaskan dan dapat diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

Selain itu juga dalam undang-undang 39 tahun 2014 tentang perkebunan di Pasal 58 Perusahaan Perkebunan yang memiliki izin Usaha Perkebunan atau izin Usaha Perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan Perkebunan.

“Jadi saya berharap agar instansi penegak hukum dan kementrian agraria dapat menindak tegas Kepala BPN Kotim apabila hal ini dibiarkan, dikuatirkan akan berdampak negatif seperti yang terjadi beberapa tahun silam apabila kita biarkan perusahan kebal hukum. Karena kami masyarakat Kotim sudah berusaha keras berjuang melatih diri untuk bisa mematuhi dan taat kepada aturan pemerintah dan hal ini bukan sesuatu yang mudah merubah kebiasaan dari hukum rimba untuk bisa patuh dengan hukum pemerintah demi negara kesatuan republik Indonesia,” tandas Abadi yang juga anggota Komisi II DPRD Kotim ini.

(Im/beritasampit.co.id).