Legislator Kotim Ini Soroti Tarif Rapid Test dari Kemenkes

Ilustrasi

SAMPIT – Semenjak wabah virus Covid-19 menyerang Indonesia hingga kini sistem pendeteksi dini untuk mencegah virus tersebut, pemerintah pusat menerapkan sistem rapid test atau tes cepat untuk mendeteksi adanya virus corona tersebut.

Hal ini juga turut dilakukan oleh Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) khususnya Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim). Namun demikian, penggunaan rapid test ini tidak luput dari perdebatan baik kalangan atas maupun elit politik dan sosial bahkan DPRD Kotim. Bagaimana tidak, rapid test dinilai kurang akurat dalam mendeteksi adanya virus corona. Disisi lain tarif rapid test juga dikritik cukup mahal bagi sejumlah kalangan masyarakat.

Namun ada titik terang dari keluhan masyarakat saat ini dimana belum lama ini pihak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya menerbitkan surat edaran terkait tarif rapid test. Dalam surat edaran tersebut, Kemenkes membatasi tarif rapid test maksimal Rp150 ribu.
Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi adalah Rp150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah),” demikian kutipan surat edaran tertanggal 6 Juli 2020 tersebut.Besaran tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada angka 1 berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan rapid test antibodi atas permintaan sendiri.

Akan tetapi kebijakan Kemenkes ini lantas disoroti oleh anggota DPRD DPRD Kotim, M.Kurniawan Anwar. Dia menilai kebijakan ini justru menunjukkan bahwa tarif rapid test selama ini memang sangat mahal dan bahkan menjadi ladang perdagangan di tengah pandemi corona yang sudah mengorbankan banyak nyawa masyarakat di tanah air ini.

“Berarti ini merupakan bukti bahwa selama ini biaya rapid test itu harganya gila-gilaan dan sudah menjadi komoditas dagang, sementara pada kenyataannya saat ini bisa ditekan menjadi Rp 150 ribu.”ungkapnya, Rabu 8 Juli 2020.

Legislator Partai Amanat Nasional ini menegaskan bahwa hasil rapid test yang digunakan untuk mendeteksi penularan virus corona dan juga sebagai syarat masyarakat bepergian dengan pesawat, kereta api, dan kapal ini belum bisa menjamin keakuratan antara terpapar atau tidak.
“Kita ketahui fungsi rapid test sendiri hanyalah menguji antibodi seseorang. Ini juga membuktikan bahwa rapid test itu sebetulnya tidak mendeteksi apakah seseorang itu tertular covid-19 atau tidak, hanya tes antibodi. Karena selama ini juga untuk memastikan seseorang terinfeksi virus corona masih mengandalkan hasil hasil Swab,” tegasnya.

Kurniawan juga mengungkapkan, apakah masih relevan memberlakukan tes antibodi ini sebagai syarat bepergian bagi penumpang pesawat udara, kereta api maupun kapal, dengan uji rapid test yang peruntukkannya jauh melenceng dari target bahkan tidak ada gunanya untuk mencegah penularan COVID-19.

Terpisah anggota Komisi III DPRD Kotim Riskon Fabiansyah, mengkritisi terkait surat edaran yang dikeluarkan oleh Kemenkes dan ditanda tangani oleh Dirjen pelayanan kesehatan mengenai besaran tarif tertinggi untuk rapid test antibodi tersebut.

“Kebijakan tersebut seharusnya diikuti juga dengan fasilitasi pemerintah pusat melalui kemenkes dengan penyediaan alat rapid test nya, karena apabila hal tersebut dibebankan ke pemerintah daerah masing-masing maka akan sulit untuk dipraktekan dilapangan. Saat ini sejak adanya refocusing anggaran Covid-19 banyak program pemda yang dibatalkan akibat ketiadaan anggaran yg dipotong oleh pemerintah pusat. Terlebih lagi jika biaya rapid test dibebankan kepada pemerintah daerah saya rasa akan berat dengan kondisi keuangan daerah saat ini,” ungkap Riskon.

Ia meyakini pihak swasta yang pastinya berorientasi kepada nirlaba akan melakukan penolakan terkait kebijakan tersebut lantaran akan berpengaruh kepada penghasilan dan juga produktivitas kinerja. “Saya yakin akan ada penolakan terkait kebijakan tersebut. jadi secepatnya kebijakan pemerintah pusat ini harus dikoordinasikan lagi dengan pemerintah daerah agar tidak jadi blunder,” tutupnya. (im/beritasampit.co.id).